Wednesday, December 30, 2020

Saudade III


" Pergi dan kehilangan adalah dua hal yang tak terelakan"

21 oktober 2019
Pukul 04.20 selepas adzan subuh, kedua kakak saya membangunkan saya yang tertidur dikamar, kakak bilang bahwa ibu sudah tidak ada,  saya langsung bergegas keluar dan membangun kana bapak  dan adik saya yang tidur di ruang tamu,  juga membangunkan suami saya yang tertidur dikamar adik saya.

Tubuh ibu sangat dingin,  saya mencoba memeriksa denyut nandi ditangannya,  dan detak jantungnya,  saya masih bisa merasakan detak jantung terakhir ibu,  sebelum ibu meninggalkan raganya.

Saat menyaksikan ibu sudah tidak bernyawa,  saya mencium kening ibu, entah kenapa ada kelegaan dalam hati saya, dan berkata "sekarang ibu udah ga sakit lagi ya." kalimat itu masih berlanjut dalam hati. Dihati saya belum ada kesedihaan yang mendalam.

Setelah itu, kami semua sibuk mengabari sanak saudara,  sementara saya dan adik saya membeli bendera kuning dan spidol.  Selama perjalanan pulang, entah mengapa semua kenangan tentang ibu telintas dikepala saya. Sesampainya dirumah,  saya memberikan bendera dan spidol kepada adik saya.  Saya berjalan dengan tatapan kosong. Memasuki kamar,  terdiam,  dan pecahlah tangis saya. Sambil menangis saya berbicara tetang apa saja kebiasaan ibu.  Ibu selalu mengetuk pintu kamar saya dan menyuruh sarapan sebelum berangkat kerja,  ibu yang selalu mengirimi pesan menanyakan kabar saya dan bertanya kapan pulang, ibu yang selalu tidur di sofa ruang tamu kalau saya dan yang lainnya belum pulang.  Kakak saya memeluk saya dengan erat,  juga suami saya.

Hati saya terasa begitu sakit. Saya memilih untuk diam dikamar. Saya masih belum mau melihat jasad ibu (lagi). Juga menghindari orang-orang yang selalu tidak tahu bagaimana menghargai orang yang sedang berduka.  Saya mendengarkan dari kamar, banyak orang yang datang,  mengucapkan turut berduka tapi seketika itu juga bertanya kronologi tetang ibu saya,  kedua kakak saya yang sudah lelah selama beberapa hari, saat itu sedang berduka masih harus meladeni orang-orang seperti itu.  Menjelaskan lagi dan lagi,  tangisnya pecah lagi dan lagi.  Kesedihan saya sedikit berubah menjadi kekesalan, ingin rasanya keluar kamar dan memaki mereka semua.  Tapi saya memilih untuk tetap diam dikamar,  saya sudah berhenti menangis, saya berfikir,  sampai ketika ibu saya di kafani pasti akan runtuh segala ketegaran kakak-kakak saya,  yang dikuras habis oleh orang-orang itu.

ketika jenazah ibu hendak dimandikan,  saya dipaksa keluar, "dipaksa" untuk mencium & mengucapkan maaf kepada ibu untuk yang terakhir kali,  saya menolak serta menarik tangan saya dengan sedikit keras dari gengaman tante saya dan mengatakan "itu cuma jasadnya,  saya udah minta maaf kemarin ketika ibu masih bernyawa dan mendengar saya." mendengar ucapan saya,  beberapa orang yang mendengar, raut muka berubah,  tapi saya tidak peduli apapun yang dipikirkan orang-orang tentang saya.

Setelah selesai dimandikan, dan didandandi,  sebelum wajah ibu di tutup dengan kafan,  (lagi-lagi) kami anak-anaknya diminta untuk mencium untuk yang terakhir kali,  karena kedua kakak saya sedang 'berhalangan' maka tidak di perkenankan untuk menciumnya,  tiba giliran saya, saya pun juga sedang 'berhalangan' pun kalau tidak saya tetap tidak mau melakukannya,  saya tidak sanggup melakukannya.  Suami saya menggantikan saya, dari ikut memandikan & mencium ibu untuk yang terakhir.

Ibu sudah tenang disana, tinggallah bapak dan adik-adik saya, yang pasti harus terus menerus mengingat kenangan akan ibu. Karena merekalah orang-orang yang setiap harinya bersama dan merawat ibu. 

Itu juga jadi salah satu alasan saya tidak mau berada dirumah, karena saya tidak akan sanggup mengingat segala kenangan ibu dengan segala kebiasaannya di tiap sudut rumah. 

Saya tidak sekuat kakak, adik dan bapak. Tapi satu hal perlu mereka ketahui, tidak sedikitpun berkurang rasa cinta saya terhadap ibu, juga bapak. Serta keluarga kami. 
Selamat jalan ibu. 

No comments:

Post a Comment