Wednesday, December 30, 2020

Saudade III


" Pergi dan kehilangan adalah dua hal yang tak terelakan"

21 oktober 2019
Pukul 04.20 selepas adzan subuh, kedua kakak saya membangunkan saya yang tertidur dikamar, kakak bilang bahwa ibu sudah tidak ada,  saya langsung bergegas keluar dan membangun kana bapak  dan adik saya yang tidur di ruang tamu,  juga membangunkan suami saya yang tertidur dikamar adik saya.

Tubuh ibu sangat dingin,  saya mencoba memeriksa denyut nandi ditangannya,  dan detak jantungnya,  saya masih bisa merasakan detak jantung terakhir ibu,  sebelum ibu meninggalkan raganya.

Saat menyaksikan ibu sudah tidak bernyawa,  saya mencium kening ibu, entah kenapa ada kelegaan dalam hati saya, dan berkata "sekarang ibu udah ga sakit lagi ya." kalimat itu masih berlanjut dalam hati. Dihati saya belum ada kesedihaan yang mendalam.

Setelah itu, kami semua sibuk mengabari sanak saudara,  sementara saya dan adik saya membeli bendera kuning dan spidol.  Selama perjalanan pulang, entah mengapa semua kenangan tentang ibu telintas dikepala saya. Sesampainya dirumah,  saya memberikan bendera dan spidol kepada adik saya.  Saya berjalan dengan tatapan kosong. Memasuki kamar,  terdiam,  dan pecahlah tangis saya. Sambil menangis saya berbicara tetang apa saja kebiasaan ibu.  Ibu selalu mengetuk pintu kamar saya dan menyuruh sarapan sebelum berangkat kerja,  ibu yang selalu mengirimi pesan menanyakan kabar saya dan bertanya kapan pulang, ibu yang selalu tidur di sofa ruang tamu kalau saya dan yang lainnya belum pulang.  Kakak saya memeluk saya dengan erat,  juga suami saya.

Hati saya terasa begitu sakit. Saya memilih untuk diam dikamar. Saya masih belum mau melihat jasad ibu (lagi). Juga menghindari orang-orang yang selalu tidak tahu bagaimana menghargai orang yang sedang berduka.  Saya mendengarkan dari kamar, banyak orang yang datang,  mengucapkan turut berduka tapi seketika itu juga bertanya kronologi tetang ibu saya,  kedua kakak saya yang sudah lelah selama beberapa hari, saat itu sedang berduka masih harus meladeni orang-orang seperti itu.  Menjelaskan lagi dan lagi,  tangisnya pecah lagi dan lagi.  Kesedihan saya sedikit berubah menjadi kekesalan, ingin rasanya keluar kamar dan memaki mereka semua.  Tapi saya memilih untuk tetap diam dikamar,  saya sudah berhenti menangis, saya berfikir,  sampai ketika ibu saya di kafani pasti akan runtuh segala ketegaran kakak-kakak saya,  yang dikuras habis oleh orang-orang itu.

ketika jenazah ibu hendak dimandikan,  saya dipaksa keluar, "dipaksa" untuk mencium & mengucapkan maaf kepada ibu untuk yang terakhir kali,  saya menolak serta menarik tangan saya dengan sedikit keras dari gengaman tante saya dan mengatakan "itu cuma jasadnya,  saya udah minta maaf kemarin ketika ibu masih bernyawa dan mendengar saya." mendengar ucapan saya,  beberapa orang yang mendengar, raut muka berubah,  tapi saya tidak peduli apapun yang dipikirkan orang-orang tentang saya.

Setelah selesai dimandikan, dan didandandi,  sebelum wajah ibu di tutup dengan kafan,  (lagi-lagi) kami anak-anaknya diminta untuk mencium untuk yang terakhir kali,  karena kedua kakak saya sedang 'berhalangan' maka tidak di perkenankan untuk menciumnya,  tiba giliran saya, saya pun juga sedang 'berhalangan' pun kalau tidak saya tetap tidak mau melakukannya,  saya tidak sanggup melakukannya.  Suami saya menggantikan saya, dari ikut memandikan & mencium ibu untuk yang terakhir.

Ibu sudah tenang disana, tinggallah bapak dan adik-adik saya, yang pasti harus terus menerus mengingat kenangan akan ibu. Karena merekalah orang-orang yang setiap harinya bersama dan merawat ibu. 

Itu juga jadi salah satu alasan saya tidak mau berada dirumah, karena saya tidak akan sanggup mengingat segala kenangan ibu dengan segala kebiasaannya di tiap sudut rumah. 

Saya tidak sekuat kakak, adik dan bapak. Tapi satu hal perlu mereka ketahui, tidak sedikitpun berkurang rasa cinta saya terhadap ibu, juga bapak. Serta keluarga kami. 
Selamat jalan ibu. 

Monday, June 22, 2020

Pandemi Covid-19

Sudah tiga bulan sejak di rumahkan dari tempat kerja, saya hanya berdiam di kostan.  Membaca beberapa novel,  menonton beberapa film, mewarnai beberapa gambar dan memakan tidak sedikit makanan. 
Banyak pengalaman pertama yang saya & suami saya alami. 

Selain pengalaman menjadi gendut kembali,
setelah beberapa tahun tidak semenggembung ini. 
Mundur sedikit, ini tahun ke tiga saya menyepi di bali, dari tahun pertama 2018, sampai tahun ini saya melaluinya dengan pengalaman yang berbeda. Tahun pertama,  saya menyepi bersama sahabat saya yang beragama hindu di denpasar,  tahun kedua saya menyepi di karangasem di kampung muslim, kediaman orang tua pacar saya,  yang kini jadi mertua saya, di tahun ketiga,  tepatnya tahun ini,  saya menyepi di denpasar,  bedanya kali ini saya bersama suami saya, di sertai kepanikan dengan begitu tiba-tibanya suami saya terserang vertigo di siang hari, bersyukur bisa membaik dengan obat-obatan yang kami punya. Segala kecemasan di siang hari, terbayar dengan keindahan langit di malam hari, kami menikmati taburan bintang diangkasa dari depan pintu kamar kami. 

Itu hanya salah satu pengalaman baru yang saya dapatkan, mungkin juga suami saya. 
Pengalaman baru lainnya,  puasa kali ini tidak ada shalat tarawih berjama'ah di masjid ataupun musola. Dan puasa kali ini pun jadi puasa pertama kami,  ya saya dan suami. Setelah beberapa tahun,  ketika ngekos saya hampir tidak lagi melakukan sahur,  di tahun ini saya bangun untuk memasak dan juga makam sahur bersama suami saya,  tapi itu hanya berjalan hanya di dua minggu pertama saja,  karena perut saya belum bisa menyesuaikan untuk makan di waktu dini hari. 

Juga, menjadi idulfitri pertama kami (saya & suami),  kali pertama kami hanya berdua di hari raya,  khusunya suaminya saya.  Segala rencana untuk mudik ke depok pun batal,  karena COVID-19. Suami saya tidak berani pulang ke karangasem,  rumah orang tuanya,  karena takut menjadi carrier untuk orangtuanya,  yang sudah cukup berusia senja dan juga punya penyakit bawaan.  
Juga menjadi lebaran pertama tanya telpon dari ibu,  yang kini saya yakin sudah mendapat tempat terbaik di sisiNYA. 

Ada juga permasalahan baru yang saya dan suami saya alami,  yang alhamdulillah sejauh ini bisa kami lalui. 

Tahun ini adalah tahun serba pertama tentang banyak hal yang saya alami. Yang tidak bisa saya tuliskan dengan detail. 
Saya hanya berharap pandemi ini segera berakhir. 

Wednesday, January 22, 2020

Episodik

Tidak selalu harus rumput hijau, angin tepi sawah,  kopi senja atau apapun yang sedang hits-hitsnya. 

Melangkah dibawah langit malam, polusi asap kendaraan yang terhirup memenuhi rongga paru-paru tersamarkan gelap malam. 

Lampu kemacetan lalu lintas yang bisa di nikmati dari jembatan penyebrangan orang. Gedung-gedung tinggi sepanjang jalan sudirman. Berbagai macam aroma makanan sepanjang pinggir jalan halte harmoni sampai jalan gajah mada, jadi teman paling menyenangkan. 

Bunyi klakson saling bersautan. Bau debu yang terbawa angin malam.  Kerumunan orang-orang saling berdesakan dengan wajah lelah,  berharap cepat sampai dirumah. 

Menyepi dalam keramaian hal menenangkan sekaligus  menyenangkan untuk sesekali dirindukan. 

Friday, January 3, 2020

Saudade II

"Jika memang harus pergi,  maka mudahkanlah."

Bandara ngurahrai, 
Setibanya di gate 5, saya kembali mengecek handphone, kabar terakhir yang saya terima dari kakak saya,  ibu sudah dibawa kerumah sakit,  tensinya 220, ada pembuluh darah yang pecah, dan saat itu sedang menjalani pemeriksaan lainnya. Setelah itu, saya mendapat kabar terbaru tentang kondisi ibu, dari sepupu saya,

"Del pihak rumah sakit tadi manggilin keluarga inti, ngabarin, rumah sakit sudah ga bisa ngapa-ngapain. Intinya RS minta pihak keluarga untuk pengajuan pulang buat ibu.Yang gue tangkep, pihak RS juga sudah mulai angkat tangan, karena disuruh pulang dan disaranin banyakin doa di rumah. Sambil jalan, sambil doain ibu ya.Jangan banyak pikiran, pulang ke rumah aja dulu. Ibu nungguin dirumah ya."


Tangis saya kembali pecah, hati makin gelisah,  ingin segera sampai dirumah.  Sialnya pesawat saya delay -+30 menit.
~
Akhirnya saya tiba di bandara Soekarno Hatta pukul 00.20 wib,  saya di jemput oleh om dan kakak sepupu saya. Selama berada didalam mobil saya hanya diam,  om saya sesekali melontarkan pertanyaan,  pertanyaan yang seharusnya biasa saja, tapi saat itu entah kenapa ketika mendengar nada biacra om saya, saya begitu sensitif , membuat saya mengeryitkan dahi.  Om saya hanya bertanya kenapa suami saya tidak menemani? Dan saya hanya menjawab singkat,  masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pertanyaan sepele semacam itu membuat saya sedikit kesal, saya tidak mau ada yang berfikir buruk tentang suami saya,  tanpa mereka tahu apa yang sudah suami saya lakukan untuk saya. Akhirnya saya memilih,  menyandarkan kepala dan memejamkan mata di jok mobil, karena cukup lelah menangis seharian.

Saya tiba di Depok sekitar pukul 01.30 wib dini hari.  Dan singgah di rumah mbah uti terlebih daluhu, disana ada mbah uti, om,  pakde,  tante dan sepupu saya. Mereka menyuruh saya makan sebelum menuju kerumah,  saya berbohong bilang bahwa saya sudah makan karena saya enggan berbicara banyak dan ingin segera melihat ibu, tidak lama kemudian akhirnya saya diantarkan pulang kerumah.
Jarak rumah saya ke rumah embah hanya sekitar 10 menit kalau berjalan kaki.

Bapak menyambut saya pulang, "ibu baru aja tidur,  tadi dirumah sakit makin kejang pas dipasangin alat,  gak tega gua liatnya. " ujar bapak kepada saya. Saya hanya terdiam, mendekati ibu dan menciumnya, "ibu lu nanyain lu mulu, kangen katanya, tidur dah dulu disamping ibu lu sambil di peluk,  biar ibu ngerasain anaknya udah pulang." ujar bapak lagi, melihat kondisi ibu yang terus mengeluarkan darah dari mulutnya serta mendengar kata-kata bapak membuat saya kembali memecahkan tangis saya . Pagi itu saya tidur disamping kiri ibu sambil menggenggam tangannya,  sementara kakak perempuan saya yang kedua tidur di sebelah kanan ibu, wajahnya terlihat begitu lelah.

19 Oktober 2019
Pukul 06.00 wib,  ibu kejang.  Kami semua menghampiri ibu dan bapak terus melantunakan kalimat  "laillahailallah"  di telinga ibu.  Pagi itu kami semua menangis,  tidak tega melihat ibu menahan sakit yang begitu hebat. Pagi itu kami sudah ikhlas,  jika harus pergi,  permudahlah.

Beberapa menit kemudian, kejang ibu berhenti.  Kondisinya kembali tenang dengan nafas yang cukup berat,  dan tetap tidak sadarkan diri.  Begitu seharian. 
~
Suami saya mengabari saya bahwa dia akan menyusul saya jika dia sudah menyelesaikan pekerjaannya,  dan mendapat penerbangan malam pukul 22.30 wita.  Saya tahu pikirannya terbagi antara pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan dan juga saya yang dia khawatirkan. Pun saya,  saya khawatir,  karena ini kali pertama, dia melakukan perjalanan keluar pulau sendirian. Saya tidak bisa menjemput, dan hanya memberikan instruksi untuk naik hiba depok, setibanya dibandara.  Yang saya khawatirkan lagi,  bus hiba depok hanya sampai pukul 00.00 wib. Saya hanya bisa berdoa,  semoga pesawatnya tidak delay.  Dan benar saja,  dia mendapati bus teraakhir malam itu,  tiba di terminal depok pukul 01.10 wib,  yang kemudian dijemput abang ipar saya.  Dan tiba dirumah pukul 01.30 wib. Saya di bangunkan oleh bapak yang tertidur dikaki ibu. Ada perasaan tenang ketika melihat dia tiba.  Entah karena akhirnya dia sampai rumah, atau akhirnya saya tidak sendiri menghadapi situasi ini. Terimakasih sudah hadir. 

20 Oktober 2019
Pukul 06.00 wib,  ada keluarga bapak dari sukabumi yang menjenguk ibu,  dikenal sebagai orang yang terbiasa menyembuhkan orang sakit dikampungnya.  Beliau mencoba melakukan ritual untuk ibu saya,  kami anak-anaknya hanya bisa terdiam dan pasrah.  Setelah selesai,  kondisi ibu terlihat ada perubahan yang cukuo signifikan, ibu merespon ketika kami memanggilnya, dan sudah bisa minum sedikit demi sedikit dari sedotan yang kami teteskan kemulutnya,  biasanya ketika kami tetesakan air,  ibu tidak bisa menelannya,  pagi itu seperti ada harapan bahwa kondisi ibu membaik.  Kami memberi ibu makan bubur yang diencerkan dan air.  Karena sejak ibu tidak sadarkan diri, tidak ada makanan atau minuman yang masuk sedikit pun. 

Sempat ada perdebatan. Saya, kakak-kakak dan bude berencana akan membawa ibu ke RSCM, agar mendapat gizi yang lebih baik karena kondisinya ada perubahan dari beberapa hari sebelumnya, dengan alasan lain bahwa kami anak perempuannya hanya bisa sampai satu atau dua hari lagi saja dirumah,  karena kakak perempuan saya yang pertama anaknya harus sekolah, dia pun harus bekerja, sementara kakak saya harus bertugas ke papua dalam minggu-minggu itu, sedangkan saya sendiri harus kembali ke bali, juga karena pekerjaan dan saya memang menetap di bali. Jika hanya dirumah,  ibu tidak ada yang merawat. Tapi adik laki-laki saya dan bapak kurang setuju,  karena tidak mau melihat ibu tersiksa dengan alat-alat rumah sakit lagi.  Dan akhirya ibu tetap dirumah. 

Malamnya,  selepas magrib,  kami semua lengkap berkumpul,  bapak, ibu yang tetap terbaring,  kedua kakak saya,  kedua adik saya,  kedua menantu laki-lakinya dan juga saya.  Kami melakukan bancakan (tradisi makan bersama dalam satu wadah,  daun pisang atau kertas minyak),  sambil meledek satu sama lain,  sambil mengajak ibu berbicara.  Karna kami percaya bahwa ibu mendengar kami.  Suasana yang mungkin kami semua rindukan, khususnya saya,  akhirnya kami bisa berkumpul lengkap, saling melempar canda dan tertawa. 

Setelah selesai makan, saya mengecek kondisi ibu, badan ibu sangat panas,  saya pun bergegas memanggil kakak-kakak saya. Abang ipar saya dengan cepat memberikan termometer,  setelah di cek,  suhu ibu 41°C.  Saya dan kakak saya mengompres ibu dengan air dingin.  Setelah beberapa jam,  panasnya mereda.  Dan ibu tertidur lagi.

Friday, November 8, 2019

Saudade

Kematian tidak pernah selalu buruk. 
Buat beberapa org yang ditinggalkan, adalah duka. 
Buat yang pergi,  bisa jadi sebuah pertemuan yang dinanti-nanti.

Ibu saya menderita stroke sejak 3 tahun terakhir, kondisinya sudah cukup memprihatinkan, badannya kurus, berbicara pun sudah tidak jelas, bahkan untuk berjalan, ibu sudah cukup kesulitan, tapi beliau selalu berusaha untuk tetap bisa mengurus rumah. 

Sejak dulu ibu adalah orang sangat aktif di lingkungan tempat tinggal kami,  dari mulai mengurus pos bindu, ikut pengajian,  dan mengajar ngaji anak-anak dirumah. Ibu senang mengurus banyak hal.

Momen terakhir yang tidak akan pernah saya lupakan adalah,  ibu masih bisa menghadiri pernikahan saya,  dengan segala keterbatasannya.
Karena beberapa kali ibu selalu menanyakan kapan saya menikah?, dan ketika saya meminta izin via telpon untuk menikah,  suara ibu terdengar sangat gembira.
~

Rabu,  16 Oktober 2019
Saya mendapat kabar kalau ibu jatuh di dapur, bapak mengirimkan foto ibu,  saat itu ibu terlihat masih lumayan segar,  tapi dagunya bengkak dan sangat memar. 

Kamis,  17 Oktober 2019
Pukul 12.30 wita saya mengecek hp,  ada beberapa panggilan tak terjawab dari bapak dan kakak saya,  saya mencoba menelpon kembali bapak tapi tidak ada jawaban,  beberapa menit kemudian, ada panggilan video call  dari kakak saya,  katanya ibu ingin berbicara dengan saya.  Karena bicara ibu sudah tidak terlalu lancar di tambah dagunya yang bengkak. Membuat ibu makin susah bicara, kakak saya pun mengulangi kalimat ibu, yang terdengar jelas saat itu hanya "sakit de." saya berusaha sekuat tenaga untuk tidak memecahkan tangisan saya,  dan saya memilih untuk mengakhiri video call tersebut,  dengan hati yang sesak

Jum'at,  18 Oktober 2019
Tepat pukul 13.00 wita,  bapak mengabarkan bahwa ibu kejang dan tidak sadarkan diri. Saat itu suami saya sedang pergi sholat jumat,  kemudian mengabarkan suami saya tentang kondisi ibu,  suami saya langsung bergegas pulang,  dan mendapati saya sedang menangis kemudian memeluk saya erat.  Sambil menangis  terisak, saya berkata kepada suami saya "mau pulang." hanya itu yang keluar dari mulut saya, diiringi isak tangis yang semakin pecah,  ketika bapak mengirimi pesan bahwa sepertinya ibu sudah tidak kuat lagi. Suami saya hanya bertanya "mau pulang malam ini? ." saya hanya bisa mengangguk, kemudian suami saya pun terdiam kembali. Tangis saya tidak berhenti karena saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan selain menunggu kabar dari adik,  kakak dan keluarga saya di depok.

Sekitar pukul 16.30, suami saya pamit untuk berangkat kerja. Sementara, suami saya tidak memberikan jawaban apakah saya boleh pulang atau tidak.

Saya berfikir apakah permintaan pulang saya terlalu berat untuk dia.  Saya pun tidak berani menanyakan kembali, bahkan saya sudah mengatakan kepada kakak saya,  bahwa saya tidak bisa pulang.  Mereka pun berusaha mengerti dan menenangkan saya,  tidak apa jika memang tidak bisa pulang. 

Beberapa keluarga pun menanyakan perihal kepulangan saya,  saya hanya menjawab akan saya usahakan pulang.
Saat itu saya berfikir,  jika suami saya memang tidak mengijinkan saya pulang,  saya sudah ikhlas, karena saya takut permintaan pulang saya justru menjadi beban buat dia. Kemudian saya menghubungi kakak saya untuk menyampaikan permintaan maaf saya kepada ibu.
Saya berusaha melakukan aktifitas yang sempat tertunda. Dengan kesedihan yang mendalam.

Pukul 18.40 wita,  suami saya menelpon dan menawarkan saya untuk flight di jam 22.30 wita, saya kaget sekaligus gembira karena akhirnya saya bisa pulang. Saya pun langsung mengabari kakak dan sepupu saya.  

Suami saya pun bergegas pulang,  untuk mengantarkan saya ke bandara.  Saya dan suami tiba dibandara pukul 21.00 wita, karena pembelian tiket pesawat dibawah 12 jam tidak bisa dilakukan secara online , kami pun langsung membeli tiket di counter. 

Raut muka suami saya terlihat begitu cemas,  digenggamnya tangan saya erat. Lalu saya mencium pipi suami saya,  seraya dalam hati mengucapkan terimakasih....

Wednesday, September 4, 2019

Filosofi Air payau

"Aku tunggu di tepi pantai tempat biasa kamu melihat bintang, jam 7 malam ini. Tolong jangan menghindar lagi, ra!."

Hira membaca pesan tersebut dengan mata masih mengantuk.  Kemudian kembali meletakan telepon gengamnya.  
Badannya masih terasa sakit semua,  karena seminggu terakhir,  dia habiskan waktunya untuk berkeliling naik kereta. 
Hira yang awalnya ingin kembali tidur,  tapi jadi memikirin pesan yang baru saja dibacanya. Kemudian kembali lagi dia mengambil telpon genggamnya, dilihatnya sekarang pukul 04.08 sore, diletakan lagi telepon genggam miliknya.

***
Dilihatnya seorang pria mengenakan kemeja biru laut duduk diatas pasir tepi pantai,  angin yang cukup kencang,  membuatnya harus merapikan rambut gondrongnya yang tersapu berkali-kali. 

Hira kemudian duduk persis disampingnya,  dengan tatapan lurus kedepan. 

Janu menatap hira, yang sesekali membenarkan poninya yang tersapu angin. Setelah tarikan nafas yang cukup panjang.  
"Kamu pernah dengar tentang air asin dan air tawar?." tanya janu memecah hening.

"Mereka bisa hidup berdampingan tanpa bisa melebur jadi satu." jawab hira tegas. 

"Ya,  Tuhan pun pernah berfirman dalam kitabnya. "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing," Ar rahman 19-20." tambah janu. 

"Hal yang jelas berbeda memang tidak akan bisa bersatu,  tapi hanya bisa berdampingan." ujar hira yang dengan konsisten masih menatap ombak,  kemudian diam sejenak,  menelan ludah untuk kembali melanjutkan kalimatnya. 

"Sama halnya  manusia,  tidak ada yang sama, hanya bisa hidup berdampingan tanpa bisa menyatukan sifat yang sudah terbentuk sejak lahir dan lingkungan tempat bertumbuh." tambah hira. 

"Tapi saya teringat tentang air payau,  campuran air tawar dan air laut." kali ini janu mendapatkan perhatian hira.  
"Kamu tahu bagaimana bisa air payau itu terbentuk?,  Jika kadar garam yang dikandung dalam satu liter air adalah antara 0,5 sampai 30 gram, maka air ini disebut air payau. Namun jika lebih, disebut air asin." jelas janu. 

 Hira masih terdiam,  dan menatap janu dengan sedikit mengernyitkan dahi. 

"Ditengah ketakutan dan kekhawatiran mu tentang perjalanan baru kita.  Saya sedikit belajar dari air payau, anggaplah kita dua orang yang mempunyai kadar air asin dan air tawar yang bertemu.  Jika kita mau bercampur jadi satu. Kita harus sama2 menurukan kadar garam, orang-orang menyebutnya ego. Agar bisa hidup dalam satu gelombang dan tidak hanya saling berdampingan.Sedikit orang pasti yang menggunakan filosofi air payau. 
Karena bagi saya pertemuan kita tidak hanya untuk sekedar berdampingan tapi bersekat, seperti fenomena selat gibraltar.  Saya ingin kita hidup seperti air payau,  yang menyeimbangankan kehidupan."

Hira masih terdiam sesaat.

"Menjadi hutan mangrove." ujar hira sambil tersenyum.

Janu lalu memeluknya. 


Sunday, July 14, 2019

Menelisik Rindu

"Kangen. "
Tiba-tiba sebuah chat masuk,  membuat saya mengeryitkan dahi ketika membacanya.

"Salah kirim?. " balas ku.

"Engga, lu ga kangen?. " balasannya kali ini tidak hanya membuat saya negeryitkan dahi.  Tapi membuat saya sejenak menghela nafas dan berfikir keras.  Butuh hampir 10 menit untuk bisa menjawabnya.

"Ada yang berubah dengan rutinitas kita?." balas ku tanpa menjawab pertanyaannya lebih dulu.


"Kita lebih banyak di jalan akhir-akhir ini." jawabnya singkat.

"Ngerasa mulai hambar dan insecure,  iya.  Jadi ga ngerasa kangen." jawabku

" apa karna sibuk ngurus pernikahan ya?  Kangen ngobrol lama,  sekarang tiap sampe kost udah cape & ngantuk." jelasnya.

Lagi-lagi,  pesannya membuat saya terdiam berfikir.

"Iya,  semoga." jawabku singkat agar obrolan ini segera berakhir.

Berakhirnya obrolan di watsap sore itu,  tidak  membuat saya jadi berhenti berfikir. Saya mulai mengintrospeksi diri.  Bagaimana bisa saya mulai mengabaikan perasan sepenting itu. Perasaan yang harusnya membuat kami semakin erat.

Berkat obrolan itu saya jadi paham,
Bahwa rindu tidak selalu soal temu, tapi akan selalu bicara tentang "jarak",  apa dan mengapa.