Friday, January 3, 2020

Saudade II

"Jika memang harus pergi,  maka mudahkanlah."

Bandara ngurahrai, 
Setibanya di gate 5, saya kembali mengecek handphone, kabar terakhir yang saya terima dari kakak saya,  ibu sudah dibawa kerumah sakit,  tensinya 220, ada pembuluh darah yang pecah, dan saat itu sedang menjalani pemeriksaan lainnya. Setelah itu, saya mendapat kabar terbaru tentang kondisi ibu, dari sepupu saya,

"Del pihak rumah sakit tadi manggilin keluarga inti, ngabarin, rumah sakit sudah ga bisa ngapa-ngapain. Intinya RS minta pihak keluarga untuk pengajuan pulang buat ibu.Yang gue tangkep, pihak RS juga sudah mulai angkat tangan, karena disuruh pulang dan disaranin banyakin doa di rumah. Sambil jalan, sambil doain ibu ya.Jangan banyak pikiran, pulang ke rumah aja dulu. Ibu nungguin dirumah ya."


Tangis saya kembali pecah, hati makin gelisah,  ingin segera sampai dirumah.  Sialnya pesawat saya delay -+30 menit.
~
Akhirnya saya tiba di bandara Soekarno Hatta pukul 00.20 wib,  saya di jemput oleh om dan kakak sepupu saya. Selama berada didalam mobil saya hanya diam,  om saya sesekali melontarkan pertanyaan,  pertanyaan yang seharusnya biasa saja, tapi saat itu entah kenapa ketika mendengar nada biacra om saya, saya begitu sensitif , membuat saya mengeryitkan dahi.  Om saya hanya bertanya kenapa suami saya tidak menemani? Dan saya hanya menjawab singkat,  masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Pertanyaan sepele semacam itu membuat saya sedikit kesal, saya tidak mau ada yang berfikir buruk tentang suami saya,  tanpa mereka tahu apa yang sudah suami saya lakukan untuk saya. Akhirnya saya memilih,  menyandarkan kepala dan memejamkan mata di jok mobil, karena cukup lelah menangis seharian.

Saya tiba di Depok sekitar pukul 01.30 wib dini hari.  Dan singgah di rumah mbah uti terlebih daluhu, disana ada mbah uti, om,  pakde,  tante dan sepupu saya. Mereka menyuruh saya makan sebelum menuju kerumah,  saya berbohong bilang bahwa saya sudah makan karena saya enggan berbicara banyak dan ingin segera melihat ibu, tidak lama kemudian akhirnya saya diantarkan pulang kerumah.
Jarak rumah saya ke rumah embah hanya sekitar 10 menit kalau berjalan kaki.

Bapak menyambut saya pulang, "ibu baru aja tidur,  tadi dirumah sakit makin kejang pas dipasangin alat,  gak tega gua liatnya. " ujar bapak kepada saya. Saya hanya terdiam, mendekati ibu dan menciumnya, "ibu lu nanyain lu mulu, kangen katanya, tidur dah dulu disamping ibu lu sambil di peluk,  biar ibu ngerasain anaknya udah pulang." ujar bapak lagi, melihat kondisi ibu yang terus mengeluarkan darah dari mulutnya serta mendengar kata-kata bapak membuat saya kembali memecahkan tangis saya . Pagi itu saya tidur disamping kiri ibu sambil menggenggam tangannya,  sementara kakak perempuan saya yang kedua tidur di sebelah kanan ibu, wajahnya terlihat begitu lelah.

19 Oktober 2019
Pukul 06.00 wib,  ibu kejang.  Kami semua menghampiri ibu dan bapak terus melantunakan kalimat  "laillahailallah"  di telinga ibu.  Pagi itu kami semua menangis,  tidak tega melihat ibu menahan sakit yang begitu hebat. Pagi itu kami sudah ikhlas,  jika harus pergi,  permudahlah.

Beberapa menit kemudian, kejang ibu berhenti.  Kondisinya kembali tenang dengan nafas yang cukup berat,  dan tetap tidak sadarkan diri.  Begitu seharian. 
~
Suami saya mengabari saya bahwa dia akan menyusul saya jika dia sudah menyelesaikan pekerjaannya,  dan mendapat penerbangan malam pukul 22.30 wita.  Saya tahu pikirannya terbagi antara pekerjaan yang tidak bisa di tinggalkan dan juga saya yang dia khawatirkan. Pun saya,  saya khawatir,  karena ini kali pertama, dia melakukan perjalanan keluar pulau sendirian. Saya tidak bisa menjemput, dan hanya memberikan instruksi untuk naik hiba depok, setibanya dibandara.  Yang saya khawatirkan lagi,  bus hiba depok hanya sampai pukul 00.00 wib. Saya hanya bisa berdoa,  semoga pesawatnya tidak delay.  Dan benar saja,  dia mendapati bus teraakhir malam itu,  tiba di terminal depok pukul 01.10 wib,  yang kemudian dijemput abang ipar saya.  Dan tiba dirumah pukul 01.30 wib. Saya di bangunkan oleh bapak yang tertidur dikaki ibu. Ada perasaan tenang ketika melihat dia tiba.  Entah karena akhirnya dia sampai rumah, atau akhirnya saya tidak sendiri menghadapi situasi ini. Terimakasih sudah hadir. 

20 Oktober 2019
Pukul 06.00 wib,  ada keluarga bapak dari sukabumi yang menjenguk ibu,  dikenal sebagai orang yang terbiasa menyembuhkan orang sakit dikampungnya.  Beliau mencoba melakukan ritual untuk ibu saya,  kami anak-anaknya hanya bisa terdiam dan pasrah.  Setelah selesai,  kondisi ibu terlihat ada perubahan yang cukuo signifikan, ibu merespon ketika kami memanggilnya, dan sudah bisa minum sedikit demi sedikit dari sedotan yang kami teteskan kemulutnya,  biasanya ketika kami tetesakan air,  ibu tidak bisa menelannya,  pagi itu seperti ada harapan bahwa kondisi ibu membaik.  Kami memberi ibu makan bubur yang diencerkan dan air.  Karena sejak ibu tidak sadarkan diri, tidak ada makanan atau minuman yang masuk sedikit pun. 

Sempat ada perdebatan. Saya, kakak-kakak dan bude berencana akan membawa ibu ke RSCM, agar mendapat gizi yang lebih baik karena kondisinya ada perubahan dari beberapa hari sebelumnya, dengan alasan lain bahwa kami anak perempuannya hanya bisa sampai satu atau dua hari lagi saja dirumah,  karena kakak perempuan saya yang pertama anaknya harus sekolah, dia pun harus bekerja, sementara kakak saya harus bertugas ke papua dalam minggu-minggu itu, sedangkan saya sendiri harus kembali ke bali, juga karena pekerjaan dan saya memang menetap di bali. Jika hanya dirumah,  ibu tidak ada yang merawat. Tapi adik laki-laki saya dan bapak kurang setuju,  karena tidak mau melihat ibu tersiksa dengan alat-alat rumah sakit lagi.  Dan akhirya ibu tetap dirumah. 

Malamnya,  selepas magrib,  kami semua lengkap berkumpul,  bapak, ibu yang tetap terbaring,  kedua kakak saya,  kedua adik saya,  kedua menantu laki-lakinya dan juga saya.  Kami melakukan bancakan (tradisi makan bersama dalam satu wadah,  daun pisang atau kertas minyak),  sambil meledek satu sama lain,  sambil mengajak ibu berbicara.  Karna kami percaya bahwa ibu mendengar kami.  Suasana yang mungkin kami semua rindukan, khususnya saya,  akhirnya kami bisa berkumpul lengkap, saling melempar canda dan tertawa. 

Setelah selesai makan, saya mengecek kondisi ibu, badan ibu sangat panas,  saya pun bergegas memanggil kakak-kakak saya. Abang ipar saya dengan cepat memberikan termometer,  setelah di cek,  suhu ibu 41°C.  Saya dan kakak saya mengompres ibu dengan air dingin.  Setelah beberapa jam,  panasnya mereda.  Dan ibu tertidur lagi.

No comments:

Post a Comment